Selasa, 20 April 2010

Pengembangan dan Penyusunan Bahan ajar Sastra

PENYUSUNAN DAN PENGENBANGAN BAHAN AJAR SASTRA
Sekolah Menengah Atas
Kelas XII Semester 1
Oleh :
SITI FAUZIAH ABDURAKHMAN
Kompetensi dasar : (Membaca) Menjelaskan unsur-unsur intrinsik cerpen
Indikator : • Menceritakan kembali isi cerpen.
• Menjelaskan unsur-unsur intrinsik cerpen.

 Pengantar Penyajian Materi
Pernahkah anda membaca sebuah cerpen?, tahukah anda bahwa dalam sebuah cerpen terdapat unsure intrinsik?, cerita pendek yang seperti apa yang anda sukai?
Betul, cerpen atau cerita pendek merupakan jenis prosa fiksi. Dalam cerpen terdapat unsur intrinsik (teman, penokohan, konflik, amanat ).


 Penyajian materi
Bacalah cerita pendek berikut!

Robohnya Surau Kami
Karangan A.A Navis
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku denganmenumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer daripasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan,simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nantiakan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnyamengalir melalui empat buah pancuran mandi.
Di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk disana dengansegala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahuntahunia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.
Sebagai penajag surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yangdipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasilpemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkanfitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih di kenalsebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orangorangsuka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa.Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting,memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong,memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling seringditerimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallahsurau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempatbermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisankayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.
Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankansuatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepatberlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuanmencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusiasekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak di jaga lagi.
Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya.
Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku,karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya.Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk disampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanyaKakek,
"Pisau siapa, Kek?
""Ajo Sidi."
"Ajo Sidi?"
Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. AjoSidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari.Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak,dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan menjadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pimpinan tersebut kami sebut pimpinan katak.Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatang Ajo Sidi kepadanya. Apakah AjoSidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi.
"Apa ceritanya, Kek?"
"Siapa?"
"Ajo Sidi."
"Kurang ajar dia," Kakek menjawab.
"Kenapa?"
"Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok tenggorokannya."
"Kakek marah?"
"Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam.Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya,ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diri kepada-Nya.Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal."
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi Kakek,
"Bagaimana katanya, Kek?"
Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku,
"Kau kenal padaku, bukan? Sedari kaukecil aku sudah disini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua,bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?"
Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.
"Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak, punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu Wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor engganaku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umat nya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya.Astagfirullah kataku bila aku terkejut. Masya Allah kataku bila aku kagum.Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk."
Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, "Ia katakan Kakek begitu, Kek?"
"Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya."
Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.
"Pada suatu waktu, ‘kata Ajo Sidi memulai,
‘di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Ditangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah dimana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang yangdiperiksa itu ada seirang yang di dunia di namai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan di masukkan ke dalam surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk ke surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan
“selamat ketemu nanti”. Bagai tak habis-habisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut dimuka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya. Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
“Engkau?”
‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’
‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’
‘Ya, Tuhanku.’
‘Apa kerjamu di dunia?’
‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’
‘Lain?’
‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’
‘Lain.’
‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu,menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’
‘Lain?’
Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan.Tapi ia insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belumdi katakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia taktahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya.Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas nerakaitu.
‘Lain lagi?’ tanya Tuhan.
‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil dan Maha Tahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.Tapi Tuhan bertanya lagi:
‘Tak ada lagi?’
‘O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’
‘Lain?’
‘Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku katakan,aku pun bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.’
‘Sungguh tidak ada lagi yang kau kerjakan di dunia selain yang kau ceritakan tadi?’
‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’
‘Masuk kamu.’
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia di bawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang di kehendaki Tuhan dari padanya dan ia percaya Tuhan tidak silap. Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri.
Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka di nerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh,orang-orang itu pun, tak mengerti juga.
‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian,
‘Bukankah kita di suruh-Nyataat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidupkita. Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.’
‘Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang se-negeri dengan kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang diantaranya.
‘Ini sungguh tidak adil.’
‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’
‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’
‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.
‘Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.
‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.
‘Apa kita revolusikan juga?’ tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadipemimpin gerakan revolusioner.
‘Itu tergantung kepada keadaan,’ kata Haji Saleh.
‘Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.’
‘Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,’sebuah suara menyela.
‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.Dan Tuhan bertanya,
‘Kalian mau apa?’ Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya:
‘O, Tuhankami yang Maha Besar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembahmu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu,dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikitpun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Maha Kuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kau jatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’
‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.
‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.
’‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’
‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?’
‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepadamereka itu.
‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa di tanam?’
‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’
‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’
‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’
‘Negeri yang lama diperbudak negeri lain?’‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’
‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’
‘Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.’
‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’
‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’
‘Karena keralaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’
‘Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.’
‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak di masukkan ke hatinya, bukan?’
‘Ada, Tuhanku.’
‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu,saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan dikeraknya!
"Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan di kerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu.
‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ Tanya Haji Saleh.
‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaum mu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.
’Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek. Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.
"Siapa yang meninggal?" tanyaku kagut.
"Kakek."
"Kakek?"
"Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur."
"Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara," kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang. Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.
"Ia sudah pergi," jawab istri Ajo Sidi.
"Tidak ia tahu Kakek meninggal?"
"Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis."
"Dan sekarang," tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab,
"Dan sekarang kemana dia?"
"Kerja."
"Kerja?" tanyaku mengulangi hampa.
"Ya, dia pergi kerja."
Sumber : http://cerpen.net


Unsur intrinsik adalah unsur dalam yang membentuk penciptaan karya sastra. Unsur ini berupa tema, amanat, latar, alur, penokohan,

Tema
Pengarang yang sedang menulis cerita pasti akan menuangkan gagasannya. Tanpa gagasan pasti dia tidak bisa menulis cerita. Gagasan yang mendasari cerita yang dibuatnya itulah yang disebut tema dan gagasan seperti ini selalu berupa pokok bahasan.
Tema atau pokok persoalan cerpen Robohnya Surau Kami terletak pada persoalan batin kakek Garin setelah mendengar bualan Ajo Sidi.
tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga lalai itu sehingga masalah kelalaiannya itu akhirnya mampu membunuh dirinya.

Amanat
Amanat merupakan keinginan pengarang untuk menyampaikan pesan atau nasihat kepada pembacanya.
Amanat yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami adalah
(a) Jangan cepat marah kalau ada orang yang mengejek atau menasehati kita karena ada perbuatan kita yang kurang layak di hadapan orang lain.
(b) Jangan cepat bangga akan perbuatan baik yang kita lakukan karena hal ini bisa saja baik di hadapan manusia tetapi tetap kurang baik di hadapan Tuhan itu.
(c) Kita jangan terpesona oleh gelar dan nama besar sebab hal itu akan mencelakakan diri pemakainya.
(d) Jangan menyia-nyiakan apa yang kamu miliki,
(e) Jangan mementingkan diri sendiri

Latar
Dalam suatu cerita latar dibentuk melalui segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya suatu peristiwa. Latar ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu; dan latar sosial.
Latar Tempat
Latar tempat yang ada dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota, dekat pasar, di surau,

Latar Waktu
Latar jenis ini, yang terdapat dalam cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar tempat, seperti yang sudah dipaparkan di atas pada latar.

Latar Sosial
Latar sosial ini menunjukkan bahwa salah satu tokoh dalam cerita ini termasuk kedalam kelompok sosial pekerja. Datanya seperti ini.
Alur (plot)
Alur adalah peristiwa-peristiwa yang diceritakan dengan panjang lebar dalam suatu rangkaian tertentu dan memiliki struktur.

Penokohan
Yang dimaksud dengan penokohan yakni bagaimana pengarang menampilkan perilaku tokoh-tokohnya berikut wataknya.
a. Tokoh Aku
b. Ajo Sidi
c. Si Kakek
d. Haji Saleh

 Uji kompetensi
Bacalah cerpen dibawah ini

KUPU-KUPU BERWARNA UNGU
Hari mulai menampakkan warna jingganya yang lembut. Angin semilir membelai tiap helai rumput liar di tanah yang lapang itu. Pohon-pohon yang kokoh bergoyang mengikuti hembusan angin yang tak tentu arah.
Burung terbang kesana-kemari. Mengepakkan sayap kecilnya yang penuh dengan bulu lembutnya.
Burung-burung itu hinggap di ranting pohon mangga milik laki-laki tua, yang selalu mengumpulkan kayu-kayu yang nantinya akan dijual untuk nafkah anak istrinya.
Seekor ulat hijau kecil diam menatap burung-burung itu terbang kesana-kemari. Dia menatapnya penuh kekaguman. Ulat itu duduk diam di atas pohon yang telah tumbang. Dapat terlihat umur pohon itu dari tiap lingkar usianya.
Ulat hijau itu terus menatap burung-burung yang masih berterbangan.
Burung-burung itu sibuk mencari makanan, entah itu cacing ataupun biji-bijian untuk diberikan kepada anak-anaknya. Sesekali terlihat satu-dua burung membawa sehelai daun kering. Daun-daun kering itu akan ia kumpulkan untuk membuat sarang yang besar dan hangat.
Dengan penuh kesabaran, para burung itu sibuk mengurus dirinya sendiri. Terbang bebas menembus cakrawala senja. Ulat hijau itu masih terus menatap burung-burung itu. Dia mulai berfikir
.“Aku ingin menjadi burung. Bisa terbang kesana kemari. Bersama kawanan burung. Membangun sarang. Sungguh pintar burung-burung itu. Membangun sarang dari daun yang kering, namun hangat. Aku akan menghasilkan telur yang banyak. Aku ingin menjadi burung. Burung punya bulu lembut. Aku tak mungkin kedinginan. Berpeluk bulu-bulu hangat dan tertidur pulas. Aku ingin menjadi seekor burung.”
Dan ulat itu masih diam melihat burung-burung itu. Esoknya, udara begitu panas. Matahari sangat terik dan membosankan. Pekarangan milik laki-laki tua itu terasa sangat gersang. Meskipun tumbuhan hijau mengelilingi pekarangan rumah itu, tapi udara begitu panas untuk dinikmati. Ulat hijau itu masih duduk terdiam di atas pohon yang tumbang itu. Dia tidak ingin kemana-mana. Dia merasa gerah apabila berjalan kesana-kemari. Dan itu membuatnya merasa tidak nyaman. Dengan tubuh gemuk dan kecil, membuatnya cepat merasa gerah.
Senja pun mulai menghiasi langit.
Mulai bermunculan capung-capung dari segala arah. Mereka terbang kesana-kemari. Dua sayap tipisnya bergerak begitu cepat. Seakan sangat ringan untuk dipatahkannya.Ulat hijau itu menatap kagum capung-capung yang ramai berterbangan di pekarangan milik laki-laki tua itu. Duduk diam menatap capung. Suara ngiungan capung membuat bising, tapi merdu. Para capung saling bergerombol dan terbang naik-turun. Kompak sekali. Sesekali mereka berhenti terbang tetapi masih melayang. sesekali capung-capung itu hinggap di dahan pohon atau pun bunga-bunga. Ulat kecil itu mulai berfikir.
“Aku ingin menjadi capung. Di cuaca panas seperti ini pasti menyenangkan terbang bersama kawanan capung yang lain. Badan yang ramping kecil tidak akan membuat badan gerah meski terbang di cuaca panas seperti ini. Sayapku tipis tetapi bisa mengepak cepat dan terasa ringan. Aku ingin menjadi capung.”
Ucapnya pada diri sendiri. Ulat hijau itu masih menatap ratusan capung di pekarangan rumah milik lelaki tua itu. Menatap dengan kagum.Esoknya, udara masih panas. Tetapi tidak sepanas kemarin. Ulat kecil itu masih duduk di atas pohon yang telah tumbang itu. Dia jalan-jalan di atasnya. Badannya mulai terasa berat dan lebih berisi.
Sesaat dia terpaku melihat segerombolan lebah datang dan berkumpul pada ranting pohon mangga milik lelaki tua itu. Badan lebah yang kecil hitam dan sedikit berbulu membuat ulat hijau itu kagum terhadap penampilannya. Ada jarum kecil di ujung ekornya. Dan sepertinya ulat hijau itu tahu kegunaannya. Pasti untuk melindungi diri lebah dari serangan lain.
Ulat hijau itu duduk menatap lebah yang sibuk pada kegiatan yang dilakukannya. Membuat madu. Ulat hijau melihat sarang lebah yang berlubang di atas pohon mangga itu. Berkali-kali lebah-lebah itu meletakkan ujung ekornya ke dalam lubang itu. Selepasnya terlihat cairan mengkilat dan kental di dalamnya. Begitu menakjubkan tontonan itu. Ulat kecil itu tak berhenti menatap lebah-lebah itu. Dia mulai berfikir.
“Aku ingin menjadi lebah. Badannya yang bagus, hitam, berbulu dan punya senjata di ujung ekornya membuatku lebih merasa kuat. Aku ingin menghasilkan cairan kental itu setiap hati. Cairan itu begitu mengkilat dan aku ingin memilikinya. Aku ingin menjadi lebah.”
Katanya lalu berjalan menuju kaki pohon mangga. Badan kecilnya menggeliat pelan menuju kaki pohon mangga itu. Dia harus melewati rumput-rumput hijau yang tinggi, harus melewati kerikil-kerikil yang menurutnya sangat besar. Melewati sampah-sampah kecil yang dipenuhi oleh hewan-hewan kecil. Dan harus melewati hewan-hewan kecil yang lain seperti semut dan kutu.

“Aku ingin menemui lebah-lebah itu. Aku ingin bertemu dengan mereka. Aku ingin cepat-cepat bertemu dengan mereka!!” serunya.

“Lihatlah para makhluk kecil, aku akan menjadi lebah, dan terbang di atas kalian!”
Butuh waktu lama untuk sampai ke atas ranting pohon mangga itu. Badan gemuknya membuat gerah yang tidak karuan. Apalagi hari demi hari badannya semakin gemuk dan besar saja.Saat dia hampir sampai di mana lebah itu bersarang, terdengar bisik-bisik semut merah yang juga melewati batang bohon mangga.
“Hei kawan,” sapa semut merah pada kawanan semut lainnya, “tidakkah kalian lihat ulat hijau itu. Badannya mulai membesar dan berbentuk! Akankah dia menjadi kepompong dan berubah menjadi kupu-kupu?”
Ulat hijau kecil itu terhenti sejenak.
“Ya, sudah waktunya dia berubah wujud.” Sahut semut lainnya.
“Akankah dia cantik? Secantik kupu-kupu yang ada di taman bunga itu?” tanya semut merah yang paling kecil.
“Ya, aku pikir begitu.” Sahut semut merah yang lain. Kemudian mereka pergi.
Kupu-kupu? Batin ulat hijau, makhluk apa itu? Cantik? Dan aku akan berubah menjadi kupu-kupu? Apa kelebihannya? Apa lebih pintar dari burung? Apa lebih lincah dari capung? Apa lebih kuat dari lebah? Aku ingin melihat kupu-kupu!
Dimana aku bisa menemukannya? Tunggu!! Taman bunga! Ya! Di situ tempatnya. Tapi di mana aku bisa menemukan taman bunga?
Kini ulat hijau itu berbalik arah menuju kaki pohon mangga, tapi langkahnya terhenti. Samar-samar terlihat warna-warni di sebelah utara pekarangan milik lelaki tua itu. Dan terlihat makhluk bersayap lebar terbang di sekeliling negeri penuh warna itu.
“Itu taman bunga.” Ujar kupu-kupu betina. Kupu-kupu betina itu tiba-tiba sudah ada di belakang ulat hijau itu. Sayapnya yang berwarna kuning menyala itu sangat indah dan mengagumkan. Sejenak ulat hijau terpukau melihat sayap lebar yang indah itu.
“Taman bunga?”
“Ya. Akankah kau mau menyusul kami?”
“Aku? Tapi apa lebah bisa ikut kalian?”
“Lebah? Kau akan menjadi kupu-kupu.”
“Kupu-kupu? Seperti apa kupu-kupu itu? Apakah dia cantik?”
“Kau akan menjadi kupu-kupu jantan yang tampan. Sayapmu akan memancarkan keindahanmu. Tunggulah waktunya.”
“Apa kau kupu-kupu itu?” Kupu-kupu betina itu mengangguk. Ia menjulurkan belalainya yang panjang menggulung di mulutnya.
“Kau akan mengiasi taman bunga. Dan mengobati luka para manusia yang gundah gulana. Mempercantik taman mereka, dan itu menyenangkan. Aku tunggu kau di taman itu. Tunjukan sayap indahmu padaku.” Ujarnya lalu pergi meningalkan ulat hijau itu.
“Kupu-kupu?” katanya pada diri sendiri.
“Menghiasi taman, cantik, mengobati luka manusia yang gundah gulana, dan sayapku indah. Aku ingin menjadi kupu-kupu! Tapi kapan aku menjadi seperti mereka?” Ulat hijau itu diam merenung di batang pohon mangga itu. Ia mengurungkan niatnya bertemu dengan lebah-lebah itu. Tiba-tiba terdengar jerit melengking dari dalam rumah lelaki tua itu. Ternyata anaknya yang menjerit. Laki-laki tua dan anaknya keluar dari rumah dengan terburu-buru. Kening anak itu bengkak dan berwarna merah kebiru-biruan.
“Lebah itu menusukku!!” jeritnya.
“Usir dia, Ayah!”
“Cepat kompres dengan ini.” Ayahnya memberikan handuk hangat pada anaknya.
Ulat hijau itu kaget melihat peristiwa itu. Ingin dia menghibur anak kecil itu agar tidak menangis lagi. Ingin dia mencium keningnya agar tidak terasa sakit lagi. Dia merasa iba dengannya.
“Mengapa lebah itu jahat?” tanyanya pada diri sendiri.
“Lebah menyakiti anak kecil itu. Kasihan dia... aku akan menghiburnya jika aku menjadi kupu-kupu nanti...”
Tiba saatnya, ulat kecil itu diselimuti selaput hijau. Badannya mulai terbungkus dan menempel pada batang pohon mangga itu. Warna hijau muda yang terlihat sangat segar. Kepompong itu diam di batang pohon mangga itu selama berhari-hari. Hari demi hari, warna hijau kepompong itu memudar dan menjadi putih pucat kecoklatan. Selimut itu menjadi kering dan mulai robek.Perlahan sayap basah dan berwarna ungu itu menyumbul dari selimut keringnya. Badannya yang mungil melepaskan diri dari kamar kecilnya itu. Kaki-kaki tipis itu mulai dijejakkan di permukaan batang pohon mangga itu. Belalai yang panjang dan menggulung telah dimilikinya. Pelahan digerak-gerakkannya sayap yang sudah melai mengering itu, semakin cepat dan terbanglah kupu-kupu tampan itu. Akhirnya dia merasakan terbang bebas di kaki langit, melihat dunia sebatas cakrawala mata, dengan badan ramping dan sayap yang indah.
Sesegera mungkin dia terbang menuju taman bunga itu. Dilihatnya bunga-bunga yang begitu memikat hati. Hasrat untuk mendekatinya sangat besar. Kupu-kupu muda itu hinggap di atas bunga mawar putih. Untuk pertama kalinya belalai panjang itu digunakannya untuk menghisap madu. Begitu nikmat madu ini..., batinnya, ah..., aku lupa! Aku harus menemui kupu-kupu bersayap kuning itu. Tapi..., dimana dia??Kupu-kupu itu terbang mencari dari kupu-kupu bersayap kuning itu. Dia berkeliling taman mencarinya. Sesaat kemudian, dia bertemu dengan kupu-kupu betina tersebut.
“Kau sudah berubah ternyata. Aku telah lama menunggumu di sini.” Ujar kupu-kupu bersayap kuning itu.
“Kini tiba saatnya aku mengatakan sesuatu padamu. Aku akan terbang ke taman lain, dan aku tidak akan pergi sebelum bertemu dengan kau.”
“Tapi mengapa kau pergi? Aku baru saja menjadi kupu-kupu dan baru saja bertemu dengan kau, tapi mengapa kau ingin pergi meninggalkan aku?”
“Cita-citaku sebagai kupu-kupu, adalah pergi ke seluruh taman di negeri ini. Tapi itu mustahil. Aku hanya bisa pergi dari taman satu ke taman yang lainnya. Dan sudah waktunya aku pergi lagi.”
“Tapi...”
“Jadilah kupu-kupu yang baik dan cantik. Jadilah dirimu sendiri. Buatlah hidupmu berarti. Buatlah cita-cita untuk tujuan hidupmu.” Kupu-kupu betina itu bersiap untuk terbang.
“Ikuti kata hatimu...” ujarnya lalu pergi. Itu kata-kata terakhir yang diucapkan kupu-kupu bersayap kuning itu. Tinggalah kupu-kupu muda bersayap ungu sendiri. Akhirnya dia memutuskan untuk terbang mencari sesuatu yang mungkin bisa dijadikan obyek bermainnya. Dia terbang menuju rumah milik lelaki tua itu. Terlihat lelaki tua dan anaknya sedang bersenda gurau. Istrinya sedang memasak di dapur. Kupu-kupu muda itu masuk ke rumah itu. Akhirnya dia bisa masuk ke dalam rumah itu.
“Ayah! Ada kupu-kupu cantik di sini!”
Lelaki tua itu mengulurkan tangannya, dan kupu-kupu muda itu hinggap di punggung telapak tangan lelaki tua itu.Begitu menginjakkan kakinya di tangan yang mulai keriput itu, pikiran kecil masuk di otaknya.
“Aku ingin menghibur keluarga ini. Aku akan selalu hadir dalam hidup mereka. Aku bercita-cita membawa keindahan di rumah mereka. Aku ingin menghiasi rumah mereka. Sampai aku mati nanti...”
Latihan
1. Ceritakan kembali isi cerpen kupu-kupu berwarna ungu!
2. Jelaskanlah unsur intrinsic dalam cerpen diatas
a) Tema
b) Latar
c) Alur
d) Penokohan
e) Amanat